TUGAS PERTEMUAN 3 PEREKONOMIAN INDONESIA (SOFTSKILL) - BAB 8/9 - Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah
PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH DAN
OTONOMI DAERAH
Tugas
Perekonomian Indonesia
(SOFTSKILL)
Disusun Oleh:
Rofy Dhiyawan Saputra
1EB08
26215240
A. Undang-Undang
otonomi daerah
Otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Secara harfiah, otonomi daerah berasal
dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari kata
autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang,
sehingga dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau
kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan
daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah.
Pelaksanaan
otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi
tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah
kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam
mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerah
masing-masing.
Terdapat
dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
·
Nilai Unitaris, yang diwujudkan
dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di
dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti
kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak
akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan
·
Nilai dasar Desentralisasi
Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta
penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah
diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di
bidang ketatanegaraan. .
Prinsip otonomi yang dianut adalah:
·
Nyata, otonomi secara nyata
diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
·
Bertanggung jawab, pemberian otonomi
diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah
air; dan
·
Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu
menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju.
Dasar Hukum
·
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
·
Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998
tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, pembagian, dan Pemanfaatan
Sumber Daya Nasional yg Berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan
Daerah dalam Kerangka NKRI.
·
Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000
tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
·
UU No. 31 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
·
UU No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Aturan Perundang-undangan
Beberapa
aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:
·
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah
·
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah
·
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
·
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
·
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
·
Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
·
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan
Otonomi Daerah
Pelaksanaan Otonomi Daerah
Pelaksanaan
otonomi daerah merupakan titik fokus yang penting dalam rangka memperbaiki
kesejahteraan rakyat. Pengembangan suatu daerah dapat disesuaikan oleh
pemerintah daerah dengan potensi dan kekhasan daerah masing-masing.
Otonomi
daerah diberlakukan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839). Pada tahun 2004,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dianggap tidak
sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan
penyelenggaraan otonomi daerah[2] sehingga digantikan dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437). Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah hingga saat ini telah mengalami beberapa kali perubahan,
terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844).
Ini
merupakan kesempatan yang sangat baik bagi pemerintah daerah untuk membuktikan
kemampuannya dalam melaksanakan kewenangan yang menjadi hak daerah. Maju atau
tidaknya suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan
yaitu pemerintah daerah. Pemerintah daerah bebas berkreasi dan berekspresi
dalam rangka membangun daerahnya, tentu saja dengan tidak melanggar ketentuan
perundang-undangan.
B. Perubahan
penerimaan daerah dan peranan pendapatan asli daerah
Perubahan
atas pendapatan, terutama PAD bisa saja berlatarbelakang perilaku oportunisme
para pembuat keputusan, khususnya birokrasai di SKPD dan SKPKD. Namun, tak
jarang perubahan APBD juga memuat preferensi politik para politisi di parlemen
daerah (DPRD). Anggaran pendapatan akan direvisi dalam tahun anggaran yang
sedang berjalan karena beberapa sebab, diantaranya karena (a) tidak
terprediksinya sumber penerimaan baru pada saat penyusunan anggaran, (b)
perubahan kebijakan tentang pajak dan retribusi daerah, dan (c) penyesuaian
target berdasarkan perkembangan terkini.
Ada beberapa kondisi yang
menyebabkan mengapa perubahan atas anggaran pendapatan terjadi, di antaranya:
·
Target pendapatan dalam APBD
underestimated (dianggarkan terlalu rendah). Jika sebuah angka untuk target
pendapatan sudah ditetapkan dalam APBD, maka angka itu menjadi target minimal
yang harus dicapai oleh eksekutif. Target dimaksud merupakan jumlah terendah
yang “diperintahkan” oleh DPRD kepada eksekutif untuk dicari dan menambah
penerimaan dalam kas daerah.
·
Alasan penentuan target PAD oleh
SKPD dapat dipahami sebagai praktik moral hazard yang dilakukan agency yang
dalam konteks pendapatan adalah sebagai budget minimizer. Dalam penyusunan
rancangan anggaran yang menganut konsep partisipatif, SKPD mempunyai ruang
untuk membuat budget slack karena memiliki keunggulan informasi tentang potensi
pendapatan yang sesungguhnya dibanding DPRD.Jika dalam APBD “murni” target PAD
underestimated, maka dapat “dinaikkan” dalam APBD Perubahan untuk kemudian
digunakan sebagai dasar mengalokasikan pengeluaran yang baru untuk belanja
kegiatan dalam APBD-P. Penambahan target PAD ini dapat diartikan sebagai hasil
evaluasi atas “keberhasilan” belanja modal dalam mengungkit (leveraging) PAD,
khususnya yang terealiasai dan tercapai outcome-nya pada tahun anggaran
sebelumnya.
Kebijakan
keuangan daerah diarahkan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah sebagai
sumber utama pendapatan daerah yang dapat dipergunakan oleh daerah dalam
melaksanakan pemerintahan dan pembangunan daerah sesuai dengan kebutuhannya guna memperkecil
ketergantungan dalam mendapatkan dana dan pemerintah tingkat atas (subsidi).
Dengan demikian usaha peningkatan pendapatan asli daerah seharusnya dilihat
dari perspektif yang Iebih luas tidak hanya ditinjau dan segi daerah
masing-masing tetapi daham kaitannya dengan kesatuan perekonomian Indonesia.
Pendapatan asli daerah itu sendiri, dianggap sebagai alternatif untuk
memperoleh tambahan dana yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan
pengeluaran yang ditentukan oleh daerah sendiri khususnya keperluan rutin. Oleh
karena itu peningkatan pendapatan tersebut merupakan hal yang dikehendaki
setiap daerah. (Mamesa, 1995:30)
Pendapatan
Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak
daerah, hasil retribusi Daerah, basil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk
memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan
otonomi daerah sebagai mewujudan asas desentralisasi. (Penjelasan UU No.33
Tahun 2004).
C.
Pembangunan Ekonomi Regional
Secara
tradisional pembangunan memiliki arti peningkatan yang terus menerus pada Gross
Domestic Product atau Produk Domestik Bruto suatu negara. Untuk daerah, makna
pembangunan yang tradisional difokuskan pada peningkatan Produk Domestik
Regional Bruto suatu provinsi, kabupaten, atau kota.
Pembangunan
ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat
mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara
pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja
baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam
wilayah tersebut. (Lincolin Arsyad, 1999).
Tujuan
utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang
setinggi-tingginya, harus pula menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan,
ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran. Kesempatan kerja bagi penduduk
atau masyarakat akan memberikan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
(Todaro, 2000).
Masalah
pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap
kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang
bersangkutan dengan menggunakan potensi sumber daya manusia, kelembagaan, dan
sumberdaya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan kita kepada
pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses
pembangunan untuk mencipatakan kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan
kegiatan ekonomi.
Pembangunan
ekonomi daerah adalah suatu proses, yaitu proses yang mencakup pembentukan
institusi – institusi baru, pembangunan industri – industri alternatif,
perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa
yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan
pengembangan perusahaan-perusahaan baru.
Setiap
upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan
jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Dalam upaya untuk
mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara
bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah. Oleh karena itu pemerintah
daerah berserta pertisipasi masyarakatnya dan dengan menggunakan sumber
daya-sumber daya yang ada harus mampu menaksir potensi sumber daya yang
diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian daerah.
D. Faktor-Faktor Penyebab
Ketimpangan
Sudah
cukup banyak studi yang menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya
ketimpangan ekonomi antar provinsi atau wilayah di Indonesia. Di antaranya dari
Esmara (1975), Sediono dan Igusa (1992), Azis (1989), Hill dan Wiliams (1989),
Sondakh (1994), dan Safrizal (1997,2000). Kesimpulan dari semua studi-studi
tersebut adalah bahwa faktor-faktor utama penyebab terjadinya ketimpangan
ekonomi antar provinsi di Indonesia adalah sebagai berikut:
·
Kosentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah
·
Alokasi Investasi
E.
Pembangunan Indonesia Bagian Timur
GBHN
1993 mengamanatkan perlunya menyerasikan laju pertumbuhan antardaerah serta
melaksanakan otonomi daerah yang nyata, serasi, dinamis, dan bertanggungjawab
di dalam suatu kesatuan Wawasan Nusantara. Implikasinya adalah bahwa
kebijaksanaan pembangunan daerah tidaklah sekedar memberikan kompensasi alokasi
finansial kepada propinsi atau kawasan yang relatif tertinggal, akan tetapi
justru lebih difokuskan untuk dapat menumbuhkan sikap kemandirian dari
masing-masing daerah tersebut untuk dapat mengelola dan mengembangkan potensi
sumberdaya yang dimiliki demi kepentingan daerah yang bersangkutan pada
khususnya maupun kepentingan nasional pada umumnya.
Selama
PJP I, perkembangan ekonomi antardaerah memperlihatkan kecenderungan bahwa
propinsi-propinsi di Pulau Jawa pada umumnya mengalami perkembangan ekonomi
yang lebih cepat dibandingkan dengan propinsi lainnya di luar Jawa. Perbedaan
perkembangan antardaerah tersebut menyebabkan terjadinya kesenjangan
kesejahteraan dan kemajuan antardaerah, terutama antara Jawa dan luar Jawa,
antara kawasan barat Indonesia (KBI) dengan kawasan timur Indonesia (KTI), dan
antara daerah perkotaan dengan daerah perdesaan. Disamping itu, masih ditemui
daerah-daerah yang relatif tertinggal dibandingkan daerah lain, yaitu daerah
terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan, dan daerah
terbelakang lainnya.
Dalam
PJP II, wilayah kawasan timur Indonesia (KTI) yang secara definitif meliputi 13
propinsi yang ada di wilayah Kalimantan, Sulawesi dan kepulauan timur, telah
diberikan prioritas untuk dikembangkan dalam upaya untuk memperkecil tingkat
kesenjangan yang terjadi antara kawasan barat Indonesia dengan KTI selama PJP I
yang lalu. Sebenarnya, sejak lima tahun terkahir ini upaya untuk mempercepat
pembangunan dan mengembangkan KTI telah banyak dilakukan melalui berbagai
kebijaksanaan dan program pembangunan yang ditetapkan oleh Pemerintah, serta
melalui berbagai seminar, lokakarya, rapat kerja, sarasehan yang membahas
masalah pembangunan KTI yang dilakukan baik oleh pemerintah, pihak perguruan
tinggi, maupun pihak dunia usaha swasta.
Dalam
membangun KTI, terdapat beberapa faktor pokok yang perlu diberikan perhatian
lebih mendalam dalam memformulasikan strategi pengembangannya, yaitu: (a)
adanya keanekaragaman situasi dan kondisi daerah-daerah di KTI yang memerlukan
kebijaksanaan serta solusi pembangunan yang disesuaikan dengan kepentingan
setempat (local needs); (b) perlunya pendekatan pembangunan yang dilaksanakan
secara terpadu dan menggunakan pendekatan perwilayahan; (c) perencanaan
pembangunan di daerah harus memperhatikan serta melibatkan peranserta masyarakat;
serta (d) peningkatan serta pengembangan sektor pertanian yang tangguh untuk
dapat menanggulangi masalah kemiskinan baik di perdesaan maupun di perkotaan
melalui peningkatan pendapatan masyarakat khususnya dalam bidang agribisnis dan
agroindustri, serta penyediaan berbagai sarana dan prasarana lapangan kerja.
Selain
itu, dalam memformulasikan strategi pengembangan KTI terdapat tiga pertimbangan
pokok terhadap potensi dan peluang yang dimiliki KTI, yaitu: (a) beberapa
propinsi di KTI merupakan daerah yang kaya akan sumberdaya alam yang memiliki
potensi untuk dikembangkan, yang pada gilirannya dapat pula dikembangkan
menjadi kawasan pusat-pusat pertumbuhan; (b) jumlah penduduk yang relatif
sedikit dengan penyebaran yang tidak merata dibandingkan luas wilayah,
merupakan "katup pengaman" bagi program transmigrasi penduduk dari
wilayah KBI yang relatif lebih padat; serta (c) adanya komitmen pemerintah
untuk melaksanakan pembangunan yang memperhatikan aspek pemerataan dalam rangka
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
F.
Teori dan Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah
Ada
sejumlah teori yang dapat menerangkan kenapa ada perbedaan dalam tingkat
pembangunan ekonomi antardaerah diantaranya yang umum di gunakan adalah teori
basis ekonomi,teori lokasi dan teori daya tarik industri.
1. Teori pembangunan ekonomi daerah
·
Teori basis ekonomi
·
Teori lokasi
·
Teori daya tarik industry
Dalam upaya pembangunan ekonomi
daerah di Indonesia sering di pertanyakan. Jenis – jenis industri apa saja yang
tepat untuk dikembangkan (diunggulkan) ? Ini adalah masalah membangun
fortofolio industri suatu daerah.
2. Model analisis pembangunan daerah
Berikut adalah sebagian penjelasan
dari model analisis dalam pembagunaan daerah.
·
Analisis SS
·
Location Quotients (LQ)
·
Angka Pengganda Pendapatan
·
Analisis Input-Output (I-O)
Daftar Pustaka:
Komentar
Posting Komentar